SEPOTONG kuih pun harus
diberi nama malah bagi mengenal seorang saya misalnya, juga harus dimulai
dengan sebuah nama. Demikianlah halnya puisi.
Puisi perlu ada nama sekaligus perlu punya judul.
Langkah pertama dalam
memahami puisi sebenarnya melalui judulnya. Judul merupakan sebuah lubang
kunci. Melalui lubang kunci itu kita dapat menerawang ke dalam ceruk rantau
puisi. Judul juga biasanya menggambarkan keseluruhan makna atau identiti
terhadap sebuah puisi.
Bagi beberapa penyair
menentukan judul seringkali menjadi hal yang paling sulit. Namun, hal yang
sebaliknya dialami beberapa penyair yang lain. Tak jarang juga beberapa penyair
memilih untuk tidak menjuduli puisinya kerana mungkin dirasanya tak ada judul
yang cukup mewakili puisinya itu.
Ada yang mengambil sebahagian baris pertama atau terakhir
menjadi judul puisi. Ada yang memberi judul yang sama sekali tak terasa
kaitannya dengan puisi. Ada pula penyair yang menjuduli karyanya dengan latar
tempat mahupun waktu saat puisi itu ditulis. Ada penyair yang menuliskan judul
terlebih dahulu sebagai titik berangkat puisinya. Ada yang mencari judul
sebagai langkah akhir.
Bagaimanapun, judul
puisi yang baik haruslah memiliki daya pikat tersendiri yang memancing,
merangsang, mengajak, sekaligus menghantarkan pembaca kepada suatu ruang dalam
sebuah puisi. Tidak semua puisi memerlukan judul, memang. Tetapi judul yang
provokatif mungkin mampu menambah jumlah pembaca karya sastera.
Tidak ada peraturan
untuk menyebabkan sebuah puisi terhasil lengkap dengan judulnya.Tetapi, membaca
puisi menjadi semakin asyik jika kita menemukan sebuah puisi berjudul unik dan
kandungan puisinya juga menarik. Kita boleh memata rantaikan antara judul dan
isi. Kita malah dapat menjangka-jangkakan maksud penyair daripada judulnya
dulu, lalu mencari pengertian terhadap puisinya. Kita barangkali boleh
menyimpulkan: oh ternyata judulnya tidak tepat kerana sama sekali tidak
berhubungan dengan isi; atau kita juga boleh berkata:kalau judulnya bukan ini
sudah pasti puisi ini tak bererti apa-apa.
Tetapi, kalau kita
memang punya alasan, dan tidak ada cara lain untuk mengelak alasan itu,
maka biarkan saja puisi anda tak
berjudul. Atau ditulis tanda titik sederet (sebaiknya tidak melebihi tiga
titik) dan sebut saja itu judul. Atau judulnya: Belum Dijuduli. Sekali lagi
asalkan anda memang punya alasan untuk melakukan itu, maka lakukanlah. Orang
akan tahu, itu bukan kerana ketidak mampuan anda membuat judul yang baik,
dengan kata lain, itu juga bukan kerana ketidak mampuan anda merangkai puisi
yang baik.
Judul bagi puisi boleh
juga diperlakukan persis judul dalam sebuah berita. Dalam jurnalistik, judul
bukan sahaja membuat pembaca penasaran, tetapi juga mewakili isi beritanya.
Tapi, untuk puisi? Saya fikir ia sebagai
suatu jalan terakhir lantaran buntu akal atau sirna kata. Sesungguhnya, pada
judul itu, di situ juga ada kebetulan untuk jadi kreatif: seberapa berani kita
mencipta judul yang unik untuk puisi itu.
Memang tak ada ketentuan
dalam membuat judul. Neruda dalam buku 100 Soneta Cinta, memberi judul
masing-masing sonetanya dengan urutan angka roman. Shakespeare juga. Memang
begitukah? Tidak juga. Jika orang kini mengutip satu dari rangkaian soneta itu,
ada yang kemudian menyebut baris pertama seperti menyebut itu adalah judul puisinya.
Anda harus selalu mentelaah karya-karya besar para penyair tersohor dunia dan
tanah air. Pasti anda menemui langkah terarah untuk mengungguli judul bagi
puisi-puisi anda.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan