NAFSU manusia umpama air yang tidak pernah
berhenti untuk terus mengalir. Selama
masih ada celah, di situlah air mengalir. Bezanya dengan air yang mengalir ke
tempat lebih rendah, nafsu terus mengalir ke arah sebaliknya.
Manusia boleh dianggap sebagai makhluk yang
jarang berasa puas. Selalu sahaja hujung dari sebuah pencariannya akan bertemu
pada satu titik: kurang. Keadaan itu persis seperti orang yang selalu mendongak
ke atas. Dan lengah menatap ke arah bawah.
Itulah sebabnya mengapa orang tanpa sedar
kehilangan daya peka. Kepekaannya dengan lingkungan sekitar menjadi tumpul.
Bahkan mungkin, di tengah hiruk pikuknya mengejar yang atas, tanpa terasa kalau
yang di bawah terinjak-injak. Jadi, pisau kepekaan bukan sekadar tumpul, bahkan
berkarat sama sekali.
Orang menjadi tidak mampu menyelami apa yang
terjadi di sekelilingnya. Sulit merasakan kalau di saat kita terlelap dalam
keadaan kenyang, sejumlah jiran tetangga
terus terjaga kerana menahan perut yang lapar. Sulit menangkap keinginan
anak-anak jiran untuk tetap bersekolah, ketika sebahagian kita tengah sibuk
mencari sekolah terbaik buat anak-anak, berapa pun mahalnya.
Ketidakpekaan itu akhirnya menggiring diri untuk
tidak ambil peduli. Kesederhanaan menjadi barang langka. Ada semangat tampil
serba mewah. Ada bahasa yang sedang diungkapkan, “Saya memang berbeza dengan
anda!”
Ketika terjadi proses melengkapi keperluan asas
seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan mungkin hal-hal lain
seperti alat komunikasi; ada pergeseran yang nyaris tanpa terasa. Sebuah
pergeseran dari nilai fungsi kepada nilai peraga.
Pemenuhan keperluan-keperluan asas itu tidak
lagi menimbang sekadar fungsi, tapi lebih kepada peraga. Ada sesuatu yang
sedang dikejar dari proses pemenuhan itu: trend dan peraga. Biasanya, nilai
peraga jauh lebih mahal dari nilai fungsi. Bahkan, berkali-kali ganda.
Di sisi lain, ada semacam ketergantungan dengan
penampilan model yang tentu saja datang dari negeri pedagang budaya. Mereka
begitu pintar mengemas barang dagangan dalam bentuk yang sangat menarik.
Mungkinkah perilaku pelanggan seperti itu
hinggap dalam diri umat Islam? Masalahnya memang bukan sekadar Muslim atau
bukan. Tapi sejauh mana umat Islam memahami nilai budaya Islam. Dan
membumikannya dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Mereka yang tidak memahami Islam biasanya memang
tidak peduli dengan urusan orang lain. Walaupun itu satu keyakinan. Tidak ada
ajaran yang menyentuh hati mereka untuk mahu memperhatikan nasib saudaranya.
Hidup bagi mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak ada hubungannya dengan
orang lain.
Sementara Islam, sangat menjunjung tinggi nilai
persaudaraan. Bahkan nilainya disamai dengan keimanan kepada Allah dan hari
akhir. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga
ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari
Muslim)
Selain tumpulnya kepekaan dan kongkongan trend
budaya orang lain, ada sebab lain yang membuat orang menjauhi hidup secara
sederhana. Apa yang disebut 'imperiority', atau merasa rendah di hadapan orang
lain. Rasa rendah diri itu memompa segala daya yang dimiliki untuk tampil
melebihi orang yang dianggap lebih. Paling tidak, ada kepuasan diri jika
tampilan bisa dianggap lebih.
Penyakit seperti itu biasa hinggap di
negeri-negeri jajahan. Mereka biasa hidup susah. Sementara para penjajah hidup
mewah. Ketika kesempatan hidup mewah terbuka lebar, sifat rendah diri berubah
menjadi jiwa eksploitasi. Apa pun yang bisa diraih, diambil sebanyak-banyaknya
demi kepuasan tampil yang berlebihan.
Hal itulah yang diwaspadai Khalifah Umar bin
al-Khatab ketika mengawasi para gabernurnya. Ia khuatir, di saat kesempatan
terbuka lebar, para gabernur hilang pertimbangan
dan kesedaran. Umar pernah menghukum Amru bin Ash, gabernur Mesir ketika itu
yang berbuat sewenag-wenang terhadap seorang rakyatnya yang miskin.
Seorang gabernur yang bertugas di Hamash,
Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Khalifah menyuruh
menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gabernur diminta menjadi
penggembala kambing sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar
kerana gabernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah
menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.
Teladan lain pernah diperlihatkan sahabat Rasul
yang bernama Mush’ab bin Umair. Pemuda kaya ini tiba-tiba berubah secara
tiba-tiba ketika memeluk Islam. Ia yang dulu selalu tampil bergaya, serba
mewah, menjadi pemuda sederhana yang hampir seratus peratus berbeza dengan
sebelumnya. Bahkan Mush’ab rela meninggalkan segala kekayaannya demi menunaikan
dakwah di Madinah.
Ada yang menarik dari seorang mantan duta besar
Jerman untuk Al-Jazair. Beliau bernama Wilfred Hoffman. Setiapkali mengunjungi
pesta dalam kalangan diplomat atau pejabat negara, isterinya selalu menjadi
pusat perhatian.
Pasalnya, di acara-acara besar seperti itu,
isterinya tidak pernah mengenakan busana dan perhiasan mewah. Sebuah kenyataan
di luar kelaziman buat kalangan pembesar negara seperti Jerman. Bagaimana
mungkin seorang duta besar negara kaya boleh tampil ala kadarnya. Padahal,
isteri wakil dari negara miskin saja mampu tampil gemerlap. Ternyata, Hoffman dan isterinya memang
sengaja seperti itu. Ia lebih memilih hidup sederhana, ketimbang tampil mewah.
Orang yang terkenal juga sering melupai saat hidup
sederhana. Saat terkenal dia lupa bahawa itu hanyalah sebahagain kecil anugerah
yang diberikan Tuhan kepadanya. Kadang hal ini menyebabkannya tamak dan rakus,
enggan berasa puas dan sering mengelabui mata orang lain dengan kelebihan yang
dia miliki.
Meraih segala kemampuan harta memang sulit. Tapi
lebih sulit lagi mengendalikannya menjadi tampil secara sederhana. Kerana nafsu
memang tidak pernah berhenti mengalir ke segala arah. Kesederhanaan itu senjata
untuk berjaya. Bukan akur kepada keadaan tetapi inilah jalan yang indah bagi
pembesar yang sabar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan