PENGUMUMAN:

INGIN MENYERTAI IPS?
Sila hubungi Ketua Dua (0168351013), Puan Jaliha Jaman (0198116672) atau Setiausaha Satu (Mohd Nurazwan 0198695012)

***
24 Mac 2015
- ulangtahun IPS ke-25. Apakah sumbangan anda kepadanya sehingga ke usinya kini? Mari fikirkan untuk 25 tahun akan datang?


***
Ikatan Penulis Sabah telah diperakukan sebagai penerbit buku daripada Perpustakaan Negara Malaysia. Para penulis di Sabah khasnya ahli-ahli IPS yang berhasrat menerbitkan buku boleh mengemukakan nombor ISBN buku berkaitan kepada urus setia IPS. Bagi ahli tiada sebarang bayaran dikenakan. Maklumat lanjut berhubung dengan perkara ini boleh menghubung kami (016 8120664) - Ketua Satu

***
SALAM WASATIYYAH!

SALAM ULANGTAHUN KE-25 IPS

SALAM JUBLI PERAK!



08 Jun 2013

Sederhana itu senjata yang indah


 
NAFSU manusia umpama air yang tidak pernah berhenti untuk terus  mengalir. Selama masih ada celah, di situlah air mengalir. Bezanya dengan air yang mengalir ke tempat lebih rendah, nafsu terus mengalir ke arah sebaliknya.

Manusia boleh dianggap sebagai makhluk yang jarang berasa puas. Selalu sahaja hujung dari sebuah pencariannya akan bertemu pada satu titik: kurang. Keadaan itu persis seperti orang yang selalu mendongak ke atas. Dan lengah menatap ke arah bawah.

Itulah sebabnya mengapa orang tanpa sedar kehilangan daya peka. Kepekaannya dengan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Bahkan mungkin, di tengah hiruk pikuknya mengejar yang atas, tanpa terasa kalau yang di bawah terinjak-injak. Jadi, pisau kepekaan bukan sekadar tumpul, bahkan berkarat sama sekali.

Orang menjadi tidak mampu menyelami apa yang terjadi di sekelilingnya. Sulit merasakan kalau di saat kita terlelap dalam keadaan kenyang, sejumlah jiran tetangga  terus terjaga kerana menahan perut yang lapar. Sulit menangkap keinginan anak-anak jiran untuk tetap bersekolah, ketika sebahagian kita tengah sibuk mencari sekolah terbaik buat anak-anak, berapa pun mahalnya.

Ketidakpekaan itu akhirnya menggiring diri untuk tidak ambil peduli. Kesederhanaan menjadi barang langka. Ada semangat tampil serba mewah. Ada bahasa yang sedang diungkapkan, “Saya memang berbeza dengan anda!”

Ketika terjadi proses melengkapi keperluan asas seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan mungkin hal-hal lain seperti alat komunikasi; ada pergeseran yang nyaris tanpa terasa. Sebuah pergeseran dari nilai fungsi kepada nilai peraga.

Pemenuhan keperluan-keperluan asas itu tidak lagi menimbang sekadar fungsi, tapi lebih kepada peraga. Ada sesuatu yang sedang dikejar dari proses pemenuhan itu: trend dan peraga. Biasanya, nilai peraga jauh lebih mahal dari nilai fungsi. Bahkan, berkali-kali ganda.

Di sisi lain, ada semacam ketergantungan dengan penampilan model yang tentu saja datang dari negeri pedagang budaya. Mereka begitu pintar mengemas barang dagangan dalam bentuk yang sangat menarik.

Mungkinkah perilaku pelanggan seperti itu hinggap dalam diri umat Islam? Masalahnya memang bukan sekadar Muslim atau bukan. Tapi sejauh mana umat Islam memahami nilai budaya Islam. Dan membumikannya dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Mereka yang tidak memahami Islam biasanya memang tidak peduli dengan urusan orang lain. Walaupun itu satu keyakinan. Tidak ada ajaran yang menyentuh hati mereka untuk mahu memperhatikan nasib saudaranya. Hidup bagi mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak ada hubungannya dengan orang lain.

Sementara Islam, sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Bahkan nilainya disamai dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim)

Selain tumpulnya kepekaan dan kongkongan trend budaya orang lain, ada sebab lain yang membuat orang menjauhi hidup secara sederhana. Apa yang disebut 'imperiority', atau merasa rendah di hadapan orang lain. Rasa rendah diri itu memompa segala daya yang dimiliki untuk tampil melebihi orang yang dianggap lebih. Paling tidak, ada kepuasan diri jika tampilan bisa dianggap lebih.

Penyakit seperti itu biasa hinggap di negeri-negeri jajahan. Mereka biasa hidup susah. Sementara para penjajah hidup mewah. Ketika kesempatan hidup mewah terbuka lebar, sifat rendah diri berubah menjadi jiwa eksploitasi. Apa pun yang bisa diraih, diambil sebanyak-banyaknya demi kepuasan tampil yang berlebihan.

Hal itulah yang diwaspadai Khalifah Umar bin al-Khatab ketika mengawasi para gabernurnya. Ia khuatir, di saat kesempatan terbuka lebar, para gabernur hilang  pertimbangan dan kesedaran. Umar pernah menghukum Amru bin Ash, gabernur Mesir ketika itu yang berbuat sewenag-wenang terhadap seorang rakyatnya yang miskin.

Seorang gabernur yang bertugas di Hamash, Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gabernur diminta menjadi penggembala kambing sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar kerana gabernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.

Teladan lain pernah diperlihatkan sahabat Rasul yang bernama Mush’ab bin Umair. Pemuda kaya ini tiba-tiba berubah secara tiba-tiba ketika memeluk Islam. Ia yang dulu selalu tampil bergaya, serba mewah, menjadi pemuda sederhana yang hampir seratus peratus berbeza dengan sebelumnya. Bahkan Mush’ab rela meninggalkan segala kekayaannya demi menunaikan dakwah di Madinah.

Ada yang menarik dari seorang mantan duta besar Jerman untuk Al-Jazair. Beliau bernama Wilfred Hoffman. Setiapkali mengunjungi pesta dalam kalangan diplomat atau pejabat negara, isterinya selalu menjadi pusat perhatian.

Pasalnya, di acara-acara besar seperti itu, isterinya tidak pernah mengenakan busana dan perhiasan mewah. Sebuah kenyataan di luar kelaziman buat kalangan pembesar negara seperti Jerman. Bagaimana mungkin seorang duta besar negara kaya boleh tampil ala kadarnya. Padahal, isteri wakil dari negara miskin saja mampu tampil gemerlap.  Ternyata, Hoffman dan isterinya memang sengaja seperti itu. Ia lebih memilih hidup sederhana, ketimbang tampil mewah.

Orang yang terkenal juga sering melupai saat hidup sederhana. Saat terkenal dia lupa bahawa itu hanyalah sebahagain kecil anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Kadang hal ini menyebabkannya tamak dan rakus, enggan berasa puas dan sering mengelabui mata orang lain dengan kelebihan yang dia miliki.

Meraih segala kemampuan harta memang sulit. Tapi lebih sulit lagi mengendalikannya menjadi tampil secara sederhana. Kerana nafsu memang tidak pernah berhenti mengalir ke segala arah. Kesederhanaan itu senjata untuk berjaya. Bukan akur kepada keadaan tetapi inilah jalan yang indah bagi pembesar yang sabar.

Tiada ulasan: